‘Hai kalian lelaki dan wanita yang baik,
Akuilah utangmu atas belas kasih ayahmu,
Akuilah utangmu atas kemampuan ibumu.
Demi kehidupan manusia di dunia ini,
Milikilah karma sebagai asas pokok,
Dan milikilah orangtua sebagai sumber terdekat asalmu.’
‘Tanpa ayah, anak takkan lahir.
Tanpa ibu, anak takkan diberi makan.
Semangat berasal dari benih ayah;
Tubuh tumbuh di dalam rahim ibu.
Karena hubungan ini,
Maka perhatian seorang ibu kepada anaknya
sungguh tiada bandingannya di dunia ini…’
‘Semenjak ia menerima anak di dalam rahimnya,
Maka sembilan bulan lamanya,
Selagi pergi, datang, duduk, dan tidur,
Ia selalu dikunjungi penderitaan,
Ia tak lagi mencintai makanan, minuman, atau pakaian seperti biasa,
Dan hanya memprihatinkan keselamatan kelahiran.’
‘Bulannya pun penuh, dan harinya mencukupi.
Pada saat kelahiran, angin karma mendorong,
Tulang sang ibu diamuk rasa nyeri.
Sang ayah menggigil takut.
Sanak keluarga dan pembantu kuatir dan merana.
Dan ketika anak lahir dan jatuh ke atas rumput,
Kegembiraan sang ayah dan ibu tak terbatas,
Bandingannya perempuan pelit yang menemukan permata ajaib mahakuasa.
Ketika sang anak memperdengarkan bunyi-bunyi pertama,
Sang ibu merasa ia sendiri lahir kembali.
Dadanya menjadi tempat istirahat sang anak,
Pangkuannya menjadi tempat mainnya,
Dan buah dadanya menjadi sumber makanannya
cinta sang ibu, Itulah hidupnya.
Tanpa sang ibu, sang anak tak dapat mengenakan atau menanggalkan pakaian.
Walaupun sang ibu lapar.
Ia ambil makanan dari mulutnya sendiri dan ia berikan kepada anaknya.
Tanpa sang ibu, sang anak tak dapat makan…’
‘Sang ibu pergi ke kampung yang bertetangga untuk bekerja.
Ia menimba air, membuat api,
Menumbuk beras, membuat tepung.
Malam hari, ketika ia kembali,
Sebelum ia sampai rumah,
Ia dengar bayinya menangis,
Dan hatinya penuh cinta.
Dadanya naik-turun, hatinya memekik,
Air susu memancar, tak dapat ia menahan.
Ia lari ke rumah.
Melihat ibunya mendekat dari jauh.
Sang bayi menggerakan otak,
Menggoyangkan kepala,
Dan melolong memanggil ibunya.
Ibunya membungkuk,
Mengangkat kedua tangan anak itu,
Meletakan bibirnya ke bibir anaknya,
Tak ada cinta yang lebih besar dari ini.
Bila anak itu berumur dua tahun,
Ia meninggalkan dada ibunya.
Tapi tanpa ayahnya, tak mungkin ia tahu api dapat membakar.
Tanpa ibunya, tak mungkin ia tahu pisau dapat mengiris jari.
Bila ia berumur tiga tahun, ia disapih dan belajar makan.
Tanpa ayahnya, tak mungkin ia tahu racun dapat membunuh.
Tanpa ibunya, tak mungkin ia tahu obat dapat menyembuhkan.
Apabila orangtua pergi ke rumah-rumah lain dan mendapat makanan lezat,
Mereka tidak memakannya, tapi memasukannya ke kantung,
Dan membawanya pulang untuk anak itu, agar ia girang…’
‘Anak itu semakin besar.
Sang ayah membawa pakaian untuk dikenakannya.
Sang ibu menyisir ikal rambutnya.
Mereka berdua memberikan segala yang indah dari milik mereka,
Sedang untuk mereka sendiri hanya yang sudah tua dan usang,
Akhirnya anak itu mangambil istri dan membawa orang asing itu masuk rumah.
Orangtua itu menjadi lebih jauh.
Suami-istri yang baru itu akrab satu dengan yang lain.
Mereka diam di kamar mereka sendiri,
Dan mengobrol bahagia berdua.’
‘Orangtua menjadi tua,
Semangat mereka melemah,
Kekuatan mereka menghilang.
Hanya anak tumpuan mereka.
Hanya istrinya bekerja untuk mereka.
Tetapi sang anak tidak lagi mendatangi mereka.
Malam hari maupun siang hari.
Kamar mereka dingin.
Tiada lagi pembicaraan menyenangkan.
Mereka seperti tamu yang kesepian di sebuah penginapan.
Datang saat gawat, dan mereka memanggil anaknya.
Sembilan dari sepuluh, sang anak tidak datang,
Tidak juga ia melayani mereka,
Katanya, lebih baik mati daripada hidup terus tanpa guna di dunia ini.
Orangtua mendengarkan, dan hatinya penuh keberangan.
Sambil menangis, kata mereka:
“Ketika kau kecil,
Tanpa kami, tak akan kau lahir.
Tanpa kami, tak akan kau tumbuh.
Ah! Betapa kami…”’
Tidak ada komentar:
Posting Komentar